Surat Untuk Para Anarkis

SURAT UNTUK PARA ANARKIS
Oleh : Markus Tjandra

 **Otokritik yang dibuat oleh salah satu kawan ini tidaklah mewakili pandangan PH secara keseluruhan. Kritik ini dimuat untuk kembali memberikan ruang untuk diskusi, kritik, dan evaluasi dari berbagai tindakan dan proyek yang telah dilakukan. Ada beberapa poin dalam kritik ini yang mana kami tidak sepakat, tapi beberapa poin penting juga ditunjuk di sini dan cukup relevan untuk dipertimbangkan. Terlepas dari itu semua, PH tetap mendukung advokasi dan solidaritas terhadap kawan-kawan di Tangerang dan Malang yang sampai sekarang ini masih berada di balik jeruji. Salam.

 

Melihat bagaimana pemerintah dan seluruh aparaturnya melihat isu ‘anarko’ ini menurut saya yang harus dicermati pertama-tama bukanlah apa yang ada di luar lingkar anarkis itu sendiri—melainkan sebaliknya. Pemerintah mengembangkan isu penjarahan sepulau Jawa, lalu ada ketua anarko ditangkap—yang memang menjadi lelucon di kalangan kelas menengah yang dekat dengan lingkaran orang-orang Kiri dan ke-Kiri-an. Lantas para anarkis berlomba-lomba melawan wacana tersebut dengan membagi-bagikan makanan, sibuk memperlihatkan bahwa betapa baiknya anarkis-anarkis ini sesungguhnya. Bagi saya ini konyol. Ada sudut pandang yang tidak sesuai rasanya, yang kalaupun memang bagi para pelaku tindakan itu amat tepat, bagi saya tetap: konyol. Di bawah ini saya paparkan beberapa argumen seputar hal tersebut, terlalu jauh apabila saya membahas soal penjarahan.

1. Pemerintah Bukanlah Satu Badan yang Terpisah dalam Sebuah Negara

Di sini kita seringkali lupa bahwa bentuk negara yang kita hidupi sekarang ini adalah sebuah satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan masyarakat. Negara adalah sebuah bentuk komunitas yang merupakan hasil evolusi masyarakat sekian ribu tahun. Jadi mustahil memisahkan begitu saja antara negara dan rakyat. Jadi kalau seorang anarkis menyatakan diri sebagai oposisi negara, bukankah seharusnya hal itu berarti bahwa ia sekaligus beroposisi terhadap masyarakatnya? Pemerintahan sebuah negara hanya eksis saat ada masyarakat yang memang membuatnya eksis. Jadi mengapa harus uring-uringan saat masyarakat—yang notabene adalah bagian integral dari sebuah negara—mengikuti cara pandang negara saat melihat isu ‘anarko’? Anarkis harus sadar diri bahwa peran anarkis adalah oposisi negara, yang otomatis menjadi musuh dari pemerintah sekaligus masyarakatnya. Kalau ingin diterima masyarakat, bukankah sebaiknya menjadi remaja mesjid saja? Sudah jelas sekali bahwa hal tersebut telah terbukti manjur sejak sekian ratus tahun lalu.

2. Pemahaman Pemilihan Taktik yang Efektif

Jadi para anarkis tersebut harus mengecek ulang soal apa sebenarnya yang diinginkan oleh diri mereka sendiri. Jangan seperti anak-anak remaja nanggung yang ditanya apa maunya malah kebingungan. Kalau mereka berkata bahwa berbuat baik dan mulia di hadapan masyarakat adalah sekadar taktik belaka untuk menyampaikan pesan, sekali lagi saya katakan, agama telah membuktikan dengan jauh lebih akurat bahwa taktik terbaik adalah menggunakan jubah agama. Tidak perlulah menjadi mualaf—karena agama mayoritas di sini Islam—hanya karena akan mengimplementasikan taktik ini. Buktinya jelas, FPI telah menggunakannya—dan relatif berhasil. Bayangkan, kalian datang ke tengah masyarakat dengan menggunakan pakaian serba hitam, wajah ditutup, hadir amat intimidatif; bandingkan dengan kalian datang dengan berpakaian gamis rapi, bersih, sopan. Siapa yang paling banyak diterima masyarakat? Siapa yang idenya—entah apapun idenya—bisa cepat diterima masyarakat? Semua sudah jelas.

3. Ketidakmampuan anarkis membangun infrastrukturnya sendiri

Ini bukan kali pertama anarkis berurusan dengan pihak aparat. Sudah lebih dari 10 tahun anarkis di Indonesia tercatat berurusan dengan aparat. Tapi apakah ada kemajuan dari masa rentang lebih dari satu dekade tersebut? Nyaris tidak ada, terutama dalam hal-hal yang substansial. Kebutuhan paling mendasar dari konfrontasi dengan aparat sudah jelas: pengacara. Setidaksukanya, semusuh apapun dengan hukum yang dikeluarkan oleh negara, bagaimanapun juga tidak akan bisa mengelak untuk tidak diproses secara hukum saat berbenturan dengan pihak negara. Apakah satu dekade kurang untuk dapat menghasilkan seorang pengacara yang paham seluk beluk hukum? Apakah satu dekade kurang untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan mereka yang mengerti hukum, katakanlah LBH? Kalau kebutuhan pokok untuk infrastruktur paling mendasar itu saja tak mampu dipenuhi dalam waktu satu dekade, saya sangsi anarkis akan bermasa depan. Lagi-lagi, kita perlu mempelajari bagaimana kelompok-kelompok Islam justru jauh lebih fantastis dalam memahami hal-hal seperti ini.

4. Keberadaan Jurang antar Generasi yang Tak Dapat Dijembatani

Sekali lagi, sudah lebih dari satu dekade anarkis di Indonesia berurusan dengan aparat. Maka saat mendengar kronologi bagaimana para anarko muda di Tangerang ditangkapi, jelas hal tersebut adalah coreng besar di wajah para anarkis. Bagaimana bisa para anarkis ini tak memahami mengenai kultur sekuritas? Membawa ponsel berisi penuh data, jelas satu kesalahan fatal; berpenampilan dengan pakaian yang memiliki simbol-simbol yang mengarah pada apapun yang berseberangan dengan pemerintah, juga jelas kesalahan; melakukan aksi yang berlawanan dengan hukum tanpa memiliki tim scout jelas juga memperlihatkan betapa amatirnya para pelaku; terakhir, tidak adanya koordinasi dengan pihak-pihak pengacara yang bersimpati pada gerakan anarkis sebelum aksi dilakukan, dan baru blingsatan setelah ada yang tertangkap, itu juga amat amat konyol. Para anarkis yang telah mengalami masa-masa berbenturan dengan aparat negara di masa lalu seharusnya dapat membagi hal-hal ini pada para anarkis muda. Kalau tidak mampu, ya harus diakui bahwa jurang yang ada memang tak terjembatani.

5. Sepenting Apa Logo dan Istilah?

Apakah HTI mati dengan dibubarkannya secara resmi HTI oleh pemerintah? Apakah ideologi mereka mati seiring dilarangnya bendera hitam HTI tampil ke permukaan? Kalau ada yang menjawab iya, artinya kalian konyol. Ideologi HTI tidak pernah mati, dengan logo/nama atau tanpa sama sekali. Jadi mengapa para anarkis ini seakan kebakaran jembut saat istilah anarkis, anarko, atau apapun lah itu disalahartikan oleh media, dan selanjutnya oleh pemerintah—seperti Tito Karnavian tahun lalu saat untuk pertama kalinya anarko-sindikalis diakui keberadaannya oleh negara? Apa sulitnya bergerak tanpa mesti mengenakan embel-embel anarki, anarko, atau apapun? Biarlah negara dan media mendefinisikan sesuka mereka soal tersebut. Apa pedulinya? Mereka yang tak dapat hidup tanpa istilah yang tepat tak ubahnya remaja yang begitu sibuk soal identitasnya, yang tanpanya mereka merasa diri tak berarti.

Saya tak memiliki masalah juga dengan pemilihan kata ‘anarko’ dibandingkan ‘anarkis’; tapi alasan yang berada di belakangnya itu yang begitu memalukan, menurut saya. Anarko dipilih karena konotasi anarkis yang begitu buruk di masyarakat, karena dikonotasikan sebagai perusuh, kerusuhan, kekacauan. Lalu para anarkis ini memilih identitas ‘anarko’. Menggelikan. Sebegitu pentingkah identitas bagi para anarkis?

Maka lantas, saat hari-hari terakhir ini terjadi penangkapan yang merembet kemana-mana, seharusnya yang perlu dipersalahkan bukanlah siapa-siapa, bukan masyarakat, bukan polisi, bukan negara, bukan orang Kiri, atau mereka yang tak paham. Melainkan para anarkis sendiri.

Mungkin, apabila para anarkis di sini ingin tetap melanjutkan taktik-taktik konfrontasional, sebaiknya belajar dari tokoh radikal Islam, bukan anarkis—karena kejauhan belajar dari anarkis-anarkis kulit putih di luar sana, yang selalu saja tak relevan saat diaplikasikan di sini. Kalau ada yang mempelajari perkembangan NII hingga kelompok-kelompok berbasis Islam saat ini, kita akan melihat bagaimana mereka membangun infrastruktur hanya dari beberapa orang saja. Lihat bagaimana Imam Samudera, terlepas dari setuju tidaknya dengan pandangan dia, yang menolak belas kasih polisi saat ditangkap, diadili, dan dipenjara, karena ia yakin bahwa apa yang ia lakukan, pahami, dan yakini, adalah dirinya, hidupnya. Lalu tahu apa jawaban sang Imam saat ia ditanya keinginan terakhir saat ia diberitahu akan dieksekusi? “Aku ingin eksekusiku dilakukan dengan dipancung dengan menggunakan pedang.”

Kalau para anarkis ini tak bisa belajar dari hal-hal seperti itu, mungkin baiknya kembali saja menjadi musisi punk rock. Toh sama-sama bisa mengibarkan logo anarki.

 

**PS: PH sama sekali tidak bertanggung jawab atas tulisan ini.

This entry was posted in Artikel and tagged . Bookmark the permalink. Both comments and trackbacks are currently closed.