Surat Dari Balik Teralis (Ditulis oleh Rio)
Kami sudah ditahan berbulan-bulan, diisolasi tidak boleh bertemu keluarga. Pada penangkapan awal, kami diintimidasi, polisi tidak langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Mereka memaksa kami ikut ke kantor. Kami berdebat. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengeluarkan laras panjang dan mengokang dan menodong kami. Saya meminta surat penangkapannya, namun tidak tertulis nama kami. Riski dan Aflah langsung diborgol disuruh duduk, wajahnya dipukuli. Setelah itu, kami dibawa ke Polres Tangerang. Disana kami dipaksa untuk BAP, kami meminta pendamping hukum LBH. Mereka bilang “sudah malam” dan “Tuhkan pasti LBH”. Riski dipisah, ia dipukuli, ditendangi. Ia punya uang cash sekitar 2 juta. Ia dipaksa mengakui bahwa uang itu adalah uang suruhan. Setelah itu, kami dipaksa tes urin, diawasi dan sempat dipukul double stick karena tidak kencing-kencing. Sesudah itu, saya dan Riski Riyanto dibawa ke TKP tempat coret-coret, di mobil kami dipukul beberapa kali. Setelah itu balik ke Polres. Sesudah itu kami bertiga diinterogasi terpisah. Saya sama Aflah, Riski berteriak dipukuli, kepalanya ditutup plastik hingga tak bernafas sambil dipukuli, Saya dan Aflah juga ditutup kepalanya hingga tak bernafas sambil terus dipukuli, dipaksa mengaku kalau kami dibayar.
Sesudah itu, kami dibawa ke rumah masing-masing. Di mobil Polisi bilang, “kalau di rumah ga boleh ngomong sedikitpun, borgolnya juga ditutupin.” Pertama ke kafe saya [Kafe Egaliter -red], disana ada handphone Bagas. Saya dipaksa mengakui kalau itu hp saya. Dada saya ditonjok berkali-kali. Di rumah baju dan almamater saya diambil tanpa sebab. Begitu juga motor dan dompet di kafe. KTP saya difoto dan diviralkan di media, begitu juga wajah kami. Wajah kami yang difoto oleh polisi disebarkan, masuk media dengan isi berita yang tidak adil. Kami menanggung sakitnya menjadi kambing hitam. Coretan yang kami buat tidak untuk memicu keonaran. Kami mengkritik pemerintah. Kami khawatir terhadap penanganan mereka terkait covid-19.
Saat ditahan dan dibawa ke Polda Unit 3, kami pun ditendang, dipukul, telinga saya dan Aflah dijepit. Itu terjadi di Unit 3 Kamneg Polda Metro Jaya. Setelah dari Polres tiba-tiba kami dibawa ke Polda menggunakan mobil Jatanras. Polisinya membawa laras panjang di Polda. Kami berkali-kali diintimidasi, dipaksa pakai Pengacara Polda bernama “Halim.” Keluarga tidak boleh menemui kami. Saat tahap 2 di Kejaksaan, kami dipaksa pakai pengacara Halim. Padahal kami sudah tanda tangan kuasa bersama LBH. Setelah itu juga, kami dipindahkan ke Polres tanpa info terlebih dahulu ke keluarga.
Kepada yang mulia Hakim, kami memohon putusan seadil-adilnya. Kami sudah sangat tersiksa. Surat ini saya buat sebenar-benarnya dan penuh kesadaran.
Tertanda,
Rio imanuel
Surat Dari Balik Teralis (Ditulis oleh Riski)
Kami ingin menceritakan beberapa kekerasan dan intimidasi selama penangkapan kami. Mulai dari ditodong senjata laras panjang saat penangkapan, pemukulan dibeberapa organ tubuh, serta kami diisolasi dan dipersulit bantuan hukum.
Awal kami ditangkap, kami ditodong laras panjang agar tidak melawan. Padahal kami hanya meminta ditunjukkan surat penangkapan kami. Saat dibawa ke Polres Tangerang, selama di mobil kami dipukul bahkan dengan benda tumpul.
Sampai di Polres kami disambut beberapa oknum yang langsung memukul sana-sini. Saat kami di BAP, kami meminta dampingan hukum, namun ditolak dengan alasan sudah malam. Tak lama kemudian datang penyidik dari Polda mengintrogasi kami. Kami selesai di BAP sekitar jam 5 pagi.
Kemudian kami dimasukkan ke dalam sel kecil untuk disuruh istirahat, sekitar jam 12 siang datang oknum dari Polda dan Mabes Polri mengintrogasi kami. Kami dibawa keruangan yang berbeda-beda. Di dalam ruangan itu kami mendapatkan beberapa kekerasan: mulai dari pemukulan, tendangan, hingga dibekap plastik.
Semua itu dilakukan agar kami mengakui kalau kami disuruh atau dibayar. Padahal kami sudah jujur kalau kami tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang membayar.
Dan saat kami sudah ditahan di Polda, kami dipersulit mendapatkan bantuan hukum dari LBH.
Kronologi ini ditulis dengan sebenar-benarnya dengan apa yang kami rasakan.
Tertanda
Riski